Erliana Tifa

بسم الله الرحمن الرحميم اللهم صل علي سيدنا محمد عبدك ونبيك ورسولك النبي الامي وعلي اله وصحبه وسلم تسليما بقدر عظمة ذاتك في كل وقت وحين

Laman

  • Beranda
  • cintailah cinta

Rabu, 29 Februari 2012

Berita HP Terbaru Indonesia 2012: Blackberry P9981 Porsche Spesifikasi Harga

Berita HP Terbaru Indonesia 2012: Blackberry P9981 Porsche Spesifikasi Harga: Blackberry P9981 Porsche adalah HP mewah yang ditampilkan oleh RIM yang bekerjasama dengan sebuah perusahaan mobil Jerman Porsche dan Black...
Diposting oleh Unknown di 15.44 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

M2M

ياحببي قلبي إرلياني تيفا

Ramalan Jodoh

Tgl Tifa

Digi Tifa

Jadwal Sholat my Tifa

syukur (my Tifa)

syukur (my Tifa)
puji syukur kehadiratmu ya ALLAH ats sgl yg tlh kau brikan

sms gratis

ERLIANA TIFA

ERLIANA TIFA
cintailah cinta yang di ridhoi sang pencipta cinta

Lencana Facebook

Khafidz Miftakhul Huda

Buat Lencana Anda

Pengikut

Arsip Blog

  • ▼  2012 (31)
    • ►  Agustus (2)
      • ►  Agu 19 (1)
      • ►  Agu 12 (1)
    • ►  Juli (2)
      • ►  Jul 28 (2)
    • ►  Juni (1)
      • ►  Jun 05 (1)
    • ►  April (9)
      • ►  Apr 28 (3)
      • ►  Apr 19 (4)
      • ►  Apr 18 (1)
      • ►  Apr 16 (1)
    • ►  Maret (8)
      • ►  Mar 26 (4)
      • ►  Mar 25 (1)
      • ►  Mar 10 (2)
      • ►  Mar 03 (1)
    • ▼  Februari (5)
      • ▼  Feb 29 (1)
        • Berita HP Terbaru Indonesia 2012: Blackberry P9981...
      • ►  Feb 28 (2)
      • ►  Feb 23 (2)
    • ►  Januari (4)
      • ►  Jan 26 (1)
      • ►  Jan 20 (1)
      • ►  Jan 19 (1)
      • ►  Jan 11 (1)
  • ►  2011 (1)
    • ►  Desember (1)
      • ►  Des 30 (1)

Mengenai Saya

Unknown
Lihat profil lengkapku

Peran Penting Syah Subakir Di Jawa

Pulau Jawa seperti hutan belantara. Bertahun-
tahun menjadi tanah tak bertuan. Tidak jauh dari
gunung Pasundan ada perkampungan indan nan
asri, desa itupun hilang. Di dekat gunung merapi
juga di kelilingi desa-desa tua yang bersembulan
di balik pohon-pohon besar, jalannya berkelok-
kelok turun naik, desa itupun hilang. Sumur,
sawah, ladang dan perkebunan damar, rotan,
kelapa-kelapa, semua berubah dan hilang
dikalahkan oleh keperkasaan pohon-pohon besar.
Jika ada burung yang terbang di atas hutan,
langsung jatuh dan mati. Hewan kera, orang
hutan, hewan mamalia, unggas, semua dibuat
bangkai oleh para hantu. Mereka benar-benar
menguasai tanah Jawa. Tak ada kehidupan sama
sekali.
Barangsiapa yang mendekati langsung mati. Jalmo
moro jalmo mati. Jika ada manusia yang datang
langsung mati.
Para hantu siap mencabik-cabik segala jenis
kehidupan yang hendak menginjakan kaki di tanah
Jawa. Hantu-hantu jahat itu mengetahui jika ada
kafilah dagang kuno mendekati pulaunya, mereka
sudah bersiap-siap di pinggir pantai tanpa terlihat
oleh manusia. Kenakalan mereka sering
menggangu kapal-kapal yang melewati laut Jawa,
laut Atlantik, atau samudera Hindia. Kadang kapal
berhenti, kadang di tenggelamkan dengan ombak,
dan kadang dimusnahkan penumpangnya. Banyak
bangkai kapal yang terdapar di setiap muara ujung
pulau Jawa.
Mereka sangat usil sekali. Bagi para pedagang dari
Gujarat India, atau bangsa Arab, Cina, sangat
mengenal karakter pulau Jawa yang angker.
Mereka tidak berani mendekati pantai pulau Jawa.
Pulau Jawa dikuasai hantu-hantu nakal dari
bangsa Jin, menjadi angker, dan sangat
menakutkan.
Kecuali hari ini. Langit sebegitu cerah. Sudah
hilang rasa takut. Gunung sangat tenang dan
kokoh di atas permukaan Jawa. Angin seperti
berhenti. Permukaan laut sangat tenang, airnya
jernih, dan terlihat jelas warna-warni bunga dari
batu-batu karang. Seolah tiga kapal itu dibiarkan
melaju kencang membelah laut Jawa. Tiga kapal
dari kerajaan Rum. Masing-masing dipimpin oleh
Patih Bungsu, Ki Sentana dan Syekh Subakir. Tiga
pemimpin delegasi dari kerajaan Rum sudah siap
mental, siap doa-doa dan jimat sakti ala Kejawen
atas petunjuk dari Ki Sentana.
Rombongan manusia berjumlah 2 laksa atau
ratusan berjodoh-jodoh. Ayam berjodoh-jodoh.
Kambing berjodoh-jodoh, kerbau, sapi, dan
hewan hias lain, masing-masing berjodoh-jodoh.
Oleh Syekh Subakir, mulai dari manusia dan
hewan-hewan itu sudah diberi jimat doa agar tidak
dikalahkan oleh para hantu Jawa ketika
menginjakan kaki di atas bumi Jawa.
Patih Bungsu, Ki Sentana, dan Syekh Subakir
menambatkan kapal di Jawa bagian Barat agak ke
Selatan. Di wilayah itu ada muara yang sangat
dalam, dan sering digunakan sebagai
pemberhentian atau pemberangkatan kapal.
Disebut pelabuhan. Airnya begitu dalam, dan
mudah terjangkau dari pantai ke darat.
Syekh Subakir turun dari kapal pertama kali,
menginjakan kaki di atas bumi Jawa pertama kali.
Dan disusul beberapa cantrik, pengikut dan
seluruh rombongan yang dikomando oleh Patih
Bungsu. Mereka merapalkan ucapan Asma Allah,
beberapa kalimat mantera, disusul ucapan-ucapan
lain yang sudah diajarkan oleh Syekh Subakar.
Dilanjutkan proses ibadah khusus menghadap ke
Barat. Mereka berdiri berjajar melaksanakan
shalat sunnat membuka lahan, serta memohon
doa keselamatan badan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Proses ritualpun selesai. Berkali-kali Syekh
Subakir menggeliyatkan tubuhnya melakukan
sesuatu yang tidak dipahami oleh rombongan
lain. Jika yang lain mengetahui apa yang diketahui
oleh Kanjeng Syekh, mungkin mereka sudah
pingsan sebelum berdiri dari duduknya. Kanjeng
Syekh, Ki Sentana dan Patih Bungsu berperang
habis-habisan dengan pemimpin hantu. Tapi
dengan mudah Kanjeng Syekh melumpuhkan
mereka.
Gunung-gunung merapi mulai dari wilayah
Pasundan, Cereme, atau di tengah hutan
Purwokerto. Dan masuk ke wilayah Timur di sudut
Ngawi, Malang, Tengger, tidak ada yang bergoyang
memuntahkan laharnya. Beda dengan rombongan
sebelumnya. Rombongan sebelumnya langsung di
hantam dengan gunung-gunung meletus seolah
sudah dikomando. Bah air tumpah ruah, para
hantu menyerang membabi buta tak terlihat. Tiba-
tiba musuh gosong dan tercabik-cabik. Saat ini
mereka aman. Masing-masing sudah
diperhitungankan dan dikelompokan sesuai
hitungan bumi Jawa. Jadi para hantu dan demit-
demit nakal tidak mampu berulah lagi. Para demit
tidak mampu menerobos pertahanan yang dibuat
oleh Kanjeng Syekh, Ki Sentana, dan Patih Bungsu.
Para hantu, Jin Prayangan, demit, kalah total.
Rombongan Kanjeng Syekh mulai meyakinkankan
anak buah untuk bekerja sesuai komando yang
diatur di negeri Rum, yakni menaklukkan alam.
Alam Jawa sudah berbau siluman. Tanah siluman
tidak bisa ditawarkan lagi kecuali dengan mantera
yang diperkuat oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kanjeng Syekh Subakir berdiri agak tinggi
diperbukitan, sementara warga berdiri menunggu
perintah. “Wahai para penakluk bumi Jawa, kita
adalah perintis dan pejuang. Jasa dan perjuangan
kita kelak akan dikenang oleh anak cucu. Bumi
Jawa adalah bumi yang paling subur, pusat dari
segala pusat, maka tidak heran jika hampir
seluruh mahluk jahat atau baik ingin menguasai
bumi ini. Sebelum dikuasai terlalu lama oleh para
khalifah bumi yang nakal, kita harus mengalahkan
mereka, dan kelak, anak cucu kita akan
meneruskan tugas-tugas kekhalifahan di atas bumi
Jawa.”
Kanjeng Syekh diam sejenak. Ketajaman mata
hatinya melihat tentara hantu di belakang mereka.
Jumlahnya tidak puluhan juta, tapi ribuan juta.
Berjejal, bertumpuk, dan saling tindih. Mereka
memiliki wajah menyeramkan. Berbeda-beda
sesuai karakter keahliannya. Para pasukan hantu
tidak berani menyerang karena malu dengan
Kanjeng Syekh dan Ki Sentana. Wibawah Kanjeng
Syekh Subakir di hadapan para pasukan hantu
sungguh luar biasa.
Kanjeng Syekh melanjutnya, “Saatnya kita tidak
berkumpul lagi. Saatnya kita berpencar sesuai
pembagian wilayah yang hendak kalian kuasai.
Kalian sudah kebal. Para Demit tidak mungkin
berani menyerang kalian. Dan kita harus ihlas
melakukan perjuangan yang paling berat ini untuk
menaklukkan hantu dan alam bumi Jawa, agar
kelak bisa dihuni manusia dan bisa disebarkan
agama untuk membimbing penghuninya ke arah
idiologi yang benar.”
Ia melanjutkan, “Sekarang kita membagi 10 jodoh
untuk menempati satu wilayah. Masing-masing 10
jodoh juga membawa 10 jodoh binatang Unggas,
10 jodoh binatang mamalia, dan 10 jodoh jenis
lain. Masing-masing ke-10 jodoh itu dipimpin
oleh 10 jodoh manusia tadi. “
Kanjeng Syekh Subakir, Ki Sentana dan Patih
Bungsu mengawali kerja berjalan membelah hutan
belantara. Di wilayah Jawa bagian Barat agak ke
Selatan ada beberapa gunung menjulang tinggi.
Tinggi sekali. Namanya gunung Sampurna. Syekh
Subakir, Ki Sentana dan Patih Bungsu mengajak
10 jodoh, dan membawa 10 jodoh ayam. Ini
persyaratan meletakkan tumbal atau jimat
keselamatan alam.
Mereka bertiga dan 10 jodoh naik ke gunung
Sampurna. Jalan ke puncak gunung sangat sulit,
apalagi sebelumnya belum ada jalan. Mereka
harus merintis jalan, meratakan semak belukar,
dan merapal beberapa doa untuk mengusir para
pengganggu yang usil di tengah jalan.
Syekh Subakir langsung menanam tumbal di
puncak gunung Sampurna. Setelah tumbal atau
rapal jimat sudah dipendam di lereng gunung
Sampurna, maka 10 jodoh manusia dan 10 jodoh
ayam bertugas menghuni lereng gunung
Sampurna. Mereka menjaga tumbal di sana dan
membuat tempat tinggal di sekitarnya.
Setelah menanam jimat atau doa yang dimediakan
di perbukitan gunung Sampurna, dan
menempatkan 10 jodoh manusia dan 10 jodoh
ayam, maka Kanjeng Syekh kembali ke kapal.
Kapal di berangkatkan menuju ke wilayah Timur
mengarah ke gunung Pajajaran. 10 jodoh manusia
dan 10 jodoh ayam ditinggalkan di gunung
Pajajaran, dan membuat tempat tinggal di
sekitarnya.
Safari ritual dipimpin oleh Syekh Subakir, Ki
Sentata dan Patih Bungsu berjalan menelusuri
pulau Jawa. Caranya tetap sama. Menempatkan 10
jodoh manusia dan 10 jodoh ayam dan unggas-
unggas lain yang tersisa. Sehabis dari gunung
Sampurna, gunung di Pasundan, mereka
meneruskan perjalanan sampai wilayah Cirebon.
Disana ada gunung menjulang tinggi sekali,
dipenuhi pepohonan besar, juga diletakkan
tumbal diperbukitannya. Dari wilayah Cirebon,
masuk ke Wilayah Pratoga, juga diberi tumbal.
Selepas dari Pratoga, Syekh Subakir melewati
hutan belantara yang sangat luas. Luas sekali,
padat dan rapat. Mata hati Syekh menangkap ada
sinar yang sangat terang. Sinar terang berasal dari
dalam gua. Mulut gua dan guanya tidak terlihat
oleh mata kasad. Dari dalam gua itu muncul sinar
yang sangat terang. Syekh Subakir tersenyum, “Ini
manusia yang diselamatkan oleh Tuhan Penjaga
Alam. Manusia sakti ini tidak mampu dikuasai
oleh para jin. Dia kuat dan kokoh. Berasal dari
keturunan para Raja Jawa sebelumnya. Bertapa di
dalam gua Terusan, kelak akan menjadi pemimpin
pulau Jawa setelah kebebasannya.” Gumamnya
tanpa berhenti. Hanya melirik, dan kemudian
melanjutkan perjalanannya ke wilayah gunung
Prau, gunung Sundara, Gunung Sumbing, sampai
ke wilayah Timur lagi ada Gunung Tidar. Gunung
Tidar adalah pusat daripada kekuatan Jawa.
Kata Ki Sentana, “Wahai para pejuang, gunung
Tidar adalah urat tanah Jawa. Gunung Tidar
merupakan istana kerajaan Dedemit, hantu, dan
jin Prayangan yang sangat nakal sekali. Saya akan
menempatkan tumbal yang paling ampuh, 10
jodoh manusia yang perkasa kebatinannya, dan
ayam-ayam jago yang paling kuat. Gunung Tidar
harus kita kuasai,”
Selesai dari gunung Tidar, Syekh Subakir, Ki
Sentana dan Patih Bungsu melanjutkan perjalanan
ke gunung Merapi, gunung Merbabu, gunung
Lawu, gunung Wilis, Gunung Bancak, Gunung
Landulangan, gunung Prawoto, gunung Liman,
dan gunung Kelut. Sudah masuk wilayah Jawa
bagian Timur. Mereka menanam tumbal dan
meninggalkan 10 jodoh manusia dan 10 jodoh
binatang-binatang Unggas.
Proses ini belum selesai. Tanpa lelah dan payah
mereka terus melanjutkan ritual klenik yang
sangat melelahkan. Wilayah yang belum diberi
tumbal tinggal sedikit. Dari gunung Kelut, mereka
melanjutkan ritual ke gunung Ngantang dan
gunung Mahameru. Gunung Mahameru ada di
wilayah Jawa bagian Timur Selatan. Gunung itu
sangat besar dan kokoh. Tumbal yang ditanam
Syekh Syubakir, Ki Sentana dan Patih Bungsu juga
sangat kuat dan kokoh tak tertandingkan.
Wilayah Jawa bagian Timur Selatan sudah selesai.
Mereka melepaskan lelah di pantai Jawa bagian
Timur. Sampai detik ini belum ada Jin Prayangan
nakal mengganggu mereka. Para hantu itu
mengetahui, tumbal-tumbal rakitan Syekh Subakir,
Ki Sentana, dan Patih Bungsu ibarat bom, yang
sewaktu-waktu jika dibuka rapalnya, bom-bom itu
akan meledak menghancurkan mereka. Para hantu
itupun tidak kuasa membuat ulah di wilayah
tumbal dan di sekitarnya.
Kini tinggal wilayah Timur Jawa. Wilayah ini
banyak gunung yang berjajar seperti bukit sampai
ke wilayah Timur. Mereka hanya memandang
dengan mata batin, gunung-gunung yang berjajar
di sana tidak memerlukan tumbal, karena lepas
dari karakter bumi Jawa. Hanya ada sebuah pulau
kecil. Pulau itu masih berhubungan erat dengan
karakter bumi Jawa. Wilayah ini adalah Wilayah
Madura. Di Madura [1]) ada gunung yang perlu
tumbal. Merekapun berangkat memasuki wilayah
Madura dan menanam tumbal di dalamnya.
Selanjutnya di Gunung Wangsul, gunung Arwen
dan gunung di Kambangan. Demikian juga
masing-masing gunung ditinggalkan 10 jodoh
manusia dan 10 jodoh Unggas. Mereka bertugas
menjaga tumbal-tumbal itu, dan bertempat tinggal
di sana.
Tugas ritual ini selesai. Syekh Syubakir, Ki Sentana
dan Patih Bungsu beserta pengikut sisanya
kembali ke pulau Jawa. Ada ritual yang sangat
penting yang harus dilakukan setelah tumbal-
tumbal, doa, jimat, mantera disenyawakan dengan
karakter bumi Jawa. Ini ritual yang sangat penting.
Penting sekali ! Syekh Subakir, Ki Sentana dan
Patih Bungsu sudah menemukan tempat yang
paling strategis.
Dalam perjalanan ketiganya sempat mengobrol
sangat serius sekali. “Kira-kira dimana tempat
yang paling cocok, Ki !”
“Menurut Syekh, dimana !” balik tanya Ki Sentana
kepada Syekh Subakir.
Ia juga meminta pendapat Patih Bangsu, “Kalau
menurut Patih Bungsu, tempat mana yang paling
dasyat merapalkan doa terakhir.”
“Saya kembalikan ke Syekh Subakir. Syekh yang
agung pasti sudah merasakan getaran bumi Jawa
yang paling besar dikuasai para Demit.”
Syekh Subakir diam sejenak. Ia mengosongkan
pikiran, melepaskan kekuatan nafsu, dan
mendekatkan getaran nurani malakuti yang paling
dalam ke Dzat Yang Maha Esa. Dan sejak awal ia
merasakan getaran bumi Jawa yang paling hebat
adalah di wilayah Tidar. Sekarangpun tetap
merasakan getaran hitam itu ada di puncak
gunung Tidar. Gunung Tidar menjadi istana para
hantu.
Ia berujar ringan, “Bagaimana kalau di lereng
gunung Tidar. Gunung Tidar adalah akar bencana
di tanah Jawa.”
“Kalau menurut Syekh tepat sasaran, kami berdua
menurut saja.” Jawa Ki Sentana. Ia melirik ke patih
Bungsu, dan patih Bungsu merunduk sebagai
tanda setuju pendapat Syekh Subakir.
Ketiganya dan sisa-sisa cantriknya langsung
menuju gunung Tidar. Itulah tempat yang paling
dasyat merapalkan doa terakhir. Gunung Tidar
adalah urat pokok kekuatan senyawa pengaruh
demit dan Jin Prayangan. Jika mengerahkan
kekuatan ghoib dari gunung ini, tentu kekuatannya
akan meramba ke gunung-gunung lain yang sudah
dipasang tumbal.
Mereka bertiga siap. Demikian juga beberapa
cantrik yang unggul. Cantrik-cantrik itu menunjang
kekuatan ketiga gurunya. Tepatnya di lereng
gunung Tidar, tidak jauh dari 10 jodoh manusia
dan 10 jodoh ayam, masih setia menunggu jimat
yang di tanam di gunung Tidar. Mereka saling
berpelukan, bersalaman, sebab 10 jodoh manusia
masih bertemu dengan gurunya.
Tidak banyak arahan yang disarankan oleh Syekh
Subakir. Hanya beberapa kata penjelasan, dan
mereka sudah siap di posisinya masing-masing.
Keheningan malampun menyelesup di setiap
persendian. Tetesan air mata permohonan kepada
Sang Hyang Kuasa, Dzat Yang Maha Adil dari
setiap keadilan di muka bumi kembali kepada
Keadilan-Nya. Mereka memohon kepada Dzat
Kuasa itu. Tuhan Yang Maha Esa. Segala doa
berupa jimat, tumbal, atau mantera adalah
sebatas usaha kami, demikian gemertak hatinya.
Penentuan-Nya tetap dalam genggaman Kuasa-Mu.
Kami hanya manusia yang berusaha membuat
jimat-jimat. Jimat-jimat itu milik-Mu, atas
Kehendak-Mu, Irodah-Mu, jika Engkau tidak
menghendaki usaha ritual kami ampuh, kamipun
tidaklah apa-apa. Jimat dan tumbal-tumbal itu
tidak mengandung kekuatan apa-apa. Maka atas
segala sesuatunya kami pasrahkan dan kami
kembalikan kepada-Mu. Amiin !
Mereka tetap dalam renungan dan keheningan.
Tertunduk sedalam cita-cita membebaskan para
manusia yang dikuasai raga dan pikirannya oleh
para Jin Prayangan. Hilang dan dihilangkan,
dikuasai, dipaksa dan disakiti raga jiwanya. Tanah
dan alam Jawa juga dikarakterkan menjadi merah
semerah nafsu Jin-Jin Prayangan. Syekh Subakir,
Ki Sentana dan Patih Bungsu hanya bagian kecil
usaha di jalan-Nya, agar diturunkan keadilan
melepaskan pulau Jawa dari cengkraman rohaniah
para Jin Prayangan dan danyang-danyang.
Setelah melepaskan segala urusan ini kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dengan jimat-jimat yang
diusahakan, kini saatnya berteriak kepada Tuhan
untuk menghidupkan jimat-jimat agar berfungsi
sesuai senyawa-senyawa ghaib yang dicaver oleh
Syekh Subakir.
Ibarat bayi yang memasuki alam bumi dari rahim
ibunya, mereka dikenalkan kalimat-kalimat Tuhan
Yang Maha Esa. Kalimah adzan. Dengan
penanaman jimat-jimat itu ibarat bayi sudah
dilahirkan, agar kelak manusia-manusia yang
nyiluman bisa terlihat lagi, maka fase-fase ritual
Syekh Subakir diawali dengan suara kalimah
adzan.
Seorang cantrik yang sudah diberi tugas
mengumandangkan adzan, dia maju pada suatu
tempat yang dipersiapkan oleh Kanjeng Syekh. Di
atas lempengan batu hitam, Cantrik itu
menginjakkan kaki diatasnya. Batu tidak sekedar
batu. Batu itu sudah dirapal oleh Kanjeng Syekh,
agar memiliki gelombang super sonic, yang
mampu menembus ke seluruh wilayah Jawa.
Khususnya wilayah-wilayah gunung yang sudah
diberi jimat.
Suara adzanpun dimulai. Suara Cantrik sangat
merdu, melengking dan kuat sekali. Saat suara
adzan dikumandangan, saat itu jua Jin-Jin
Prayangan kesakitan sambil menutup telinganya.
Mereka menjerit kesakitan. Muntah darah, terlihat
dari mulut, telinga, dan bagian-bagian jijik lain
berlepotan darah. Kepanikkan para Jin ini hanya
bisa dirasakan oleh Kanjeng Syekh dan Ki Sentana.
Yang lain melihat seperti tidak ada kejadian apa-
apa.
Adzanpun selesai. Diteruskan merapal doa-doa
mujarobat, mulai dari bismillah, wirid, dan doa-
doa khusus dari Kanjeng Syekh. Ki Sentara, Patih
Bungsu, Cantrik dan ke-10 jodoh manusia tidak
memahami maksud Syekh Subakir. Setelah
Kanjeng Syekh merapalkan doa-doa dalam hati,
kosentrasi yang tinggi sekali, dan dengan kekuatan
supranatural yang tajam dan kokoh, maka
terdengar suara gemuruh di seluruh wilayah Jawa.
Suara gemuruh yang sangat hebat. Berdentuman
seperti meriam kuno, disertai asap tebal
membumbung tinggi ke langit. Suara dentuman
itu berkali-kali datang, susul menyusul, mulai dari
wilayah Barat, Timur, Tengah, dan dari gunung
Tidar itu sendiri. Semuanya meletus bersamaan.
Langit Jawa seolah-olah terbakar, mengamuk,
marah, sambil memuntahkan pijaran api yang
merah, lahar yang panas, dan kilatan api yang
menyambar-nyambar. Anehnya, bangsa manusia
seperti Kanjeng Syekh, Ki Sentana, Patih bungsu,
cantrik dan masing-masing 10 jodoh di seluruh
wilayah gunung-gunung, demikian juga hewan-
hewan Unggas seperti ayam, mereka tidak kena
sasaran gunung meletus. Sekalipun lolongan
gunung meletus ada diatas mereka, mereka tetap
aman-aman saja. Lahar yang meleleh dari puncak
gunung, ketika sampai di bekas tanaman tumbal
dan 10 jodoh manusia dan binatang Unggas,
lahar itu langsung berbelok menghindari mereka.
Kilat-kilat petir akibat meletusnya seluruh gunung
di pulai Jawa membuat ramai seluruh wilayah
Jawa. Tak ada alam yang bekerja serentak ini,
kecuali dirangsang oleh tumbal dan rapalan doa
yang dikokohkan oleh Syekh Subakir dan Ki
Sentana di dalam perut gunung seluruh Jawa.
Sementara Kanjeng Syekh masih dalam posisi
semedi dzikirnya. Mengerahkan segala kekuatan
batin, dibantu Ki Sentana, Patih Bungsu dan
cantrik-cantrik. Kekuatan itu merambah seperti
gelombang elektromagnetik, menembus setiap
gunung yang meletus, dan kemudian bersatu
dengan suara petir, kilat, atau semburan mulut-
mulut gunung. Ternyata kekuatan yang
ditimbulkan dari kosentrasi Syekh Subakir dan
teman-temannya, membuat kilat maupun petir,
gemuruh letusan gunung mengandung tenaga
dalam yang kuat sekali. Tenaga supranatural,
bersatu dengan kilat, petir, angin, lahar,
semuanya mencabik-cabik kekuatan para jin
Prayangan. Jika ada kilat menyambar lurus, dan
hilang di tengah jalan, maka saat hilangnya kilat
sebagai pertanda kekuatan Kanjeng Syekh masuk
ke alam Jin. Kekuatan itu mampu menembus
pagar pertahanan para Demit atau Jin Prayangan.
Terjadilah peperangan yang hebat, sahut
menyahut antar kekuatan letusan gunung dengan
kekuatan para Demit dan Jin Prayangan.
Letusan gunung, sambar menyambar, berdentum-
dentum keras, kilat-kilat bersentuhan dan
berpotongan di langit. Para hantu berlarian
mencari perlindungan. Namun tak ada
perlindungan bagi para Demit atau Jin Prayangan.
Mereka diburu oleh kilat-kilat itu, lahar, atau
bebatuan kecil, yang kesemuanya mengandung
magic yang di hantar dari duduknya Syekh Subakir
dan jimat yang di tanam sebelumnya. Jika mereka
kena percikan bara, abu, atau kilatan, mereka
langsung terbakar secara ghaib. Ada yang sampai
terpelanting ke atas, meluncur tinggi, dan jatuh ke
tembok-tembok pagar kuburan mereka. Mereka
tidak mati. Mereka hanya kesakitan dan tidak bisa
berbuat apa-apa. Hendak menyerang dan
melawan, atau berlindung di balik tembok-tembok
perlindungannya, bagi mereka sangat percuma.
Tumbal tumbal atau dzikir Syekh Subakir dan
kawan-kawan terlalu tangguh untuk dilawan.
Gunungpun berhenti meletus. Serentak seluruh
Jawa berhenti total bersama sadarnya Syekh
Subakir dari alam sadarnya. Alam yang begitu luas
beserta gunung seluruh Jawa bisa dikendalikan
oleh beberapa gelintir orang-orang beriman.
Orang-orang beriman itu bisa melipat zona
wilayah yang jauh menjadi dekat, yang tinggi
menjadi rendah, dan yang tidak bergerak menjadi
bergerak. Dan yang tidak terlihatpun kini bisa
diperlihatkan. Jin-jin yang menguasai seluruh raga
penduduk Jawa, mereka terpelanting keluar dari
raga orang-orang Jawa. Mengerang kesakitan. Dan
akhirnya penduduk Jawapun sudah bisa dilihat
dengan kasad mata.
Syekh Syubakir berkata kepada Jin Prayangan,
Dedemit atau Danyang-Danyang yang menguasai
alam dan raga penduduk Jawa. “Wahai para
mahluk halus, Jin Prayangan, menyingkirlah !
Keluarlah dari tubuh manusia dan tempat tinggal
orang-orang Jawa. Jangan menempati wilayah
manusia. Menyingkirkan ke tempat-tempat sunyi,
gelap, hutan, batu-batu besar, kayu-kayu besar,
laut, maupun sungai yang tidak dihuni oleh
manusia.”
Satupun diantara Jin Prayangan tak ada yang
berani membantah fatwa Syekh Subakir dan Ki
Sentana. Mereka mengikuti petunjuk Syekh
Subakir. Mereka ihlas menerima kenyataan, dan
tidak lagi serakah menguasai wilayah manusia dan
raga manusia, kecuali alam yang kosong atau raga
yang sunyi dan kosong. Merekapun kembali ke
tempat semula.
Akhirnya manusia Jawa terlihat seperti semula.
Mereka belum sadar apa yang terjadi. Bertahun-
tahun raga masyarakat Jawa dikendalikan dan
ditenggelamkan mahluk Jin. Kini mereka terkulai
tak memahmi apa-apa. Tidak tahu arah dan tempat
tinggal mereka, karena mereka terlalu lama
tenggelam dan ditenggelamkan ke alam
ketidakmengertian. Mereka juga tidak mengenal
siapa pejuang dan pembela mereka.
Pulau Jawa dan penduduknya kembali hidup.
Disebut zaman Kitrah. Mereka membutuhkan
seorang pemimpin yang bisa mengatur hidup
mereka ke depan menyongsong hidup baru.
—
Berhari-hari Syekh Subakir, Ki Sentana dan Patih
Bungsu mengelilingi desa dan perkampungan.
Masyarakat masih kurang memahami kejadian
yang menimpahnya. Setiap wajah dan pandangan
mata masih terlihat kosong, bingung, mendung,
dan tidak tahu siapa dan harus kemana, serta
untuk apa berdirinya atau duduknya. Mereka
hanya berjalan karena bisa berjalan, bicara karena
bisa bicara, dan mereka bekerja karena ingin
bekerja.
Syekh Subakir memahami kebingungan mereka.
Pada kesempatan yang teduh bersama orang-
orang Jawa, Syekh dan kawan-kawan berbicara
santai. Mereka banyak mengeluh dan bertanya,
ada apa ! Mereka tidak ingat apa-apa. Dan tidak
tahu harus berbuat apa.
“Wahai penduduk Jawa, kalian butuh seorang
pemimpin yang bisa mengatur hidup kalian. Siapa
pemimpin kalian sebelum ini.
“Kami tidak tahu pemimpin kami. Tapi kami
masih ingat wajah dan keturunannya. Kami harus
mencari, dan mengangkatnya menjadi pemimpin.”
Syekh Subakir manggut-manggut, “Cari orang itu,
dan angkatlah menjadi pemimpin kalian.”
Ia melanjutkan, “Pemimpin kalian harus pandai
memahami watak bumi kalian, ilmu Kejawen
kalian, serta harus memahami agama. Jika terlalu
kuat nilai kejawennya daripada agamanya,
ingatlah, orang seperti itu tidak bisa memimpin
masyarakat Jawa.”
“Betul. Pemimpin kami sebelumnya mahir tentang
kerjawen dan mahir tentang agama. Tapi kami
tidak tahu sekarang ada di mana.”
“Kalian harus mencari.” Sela Patih Bungsu.
Syekh meneruskan perkataan Patih Bungsu.
“Sekarang kalian sudah bebas, kalian harus
membuat negeri baru, kependudukan baru, dan
idiologi baru. Kalian harus hati-hati dengan ritual-
ritual yang berhubungan dengan mahluk halus,
seperti mengagung-agungkan pohon besar,
menyembah laut, dewa matahari atau ritual yang
mengagungkan sesama ciptaan-Nya. Maka kalian
harus memiliki seorang pemimpin yang bisa
membimbing tentang ilmu-ilmu agama dan
keilmuan lain yang berhubungan dengan tanah
Jawa.”
“Jika tuan Syekh adalah keturunan pemimpin
kami, kami lebih senang tuan memimpin kami.”
“Bagaimana kami harus memimpin kalian jika
kalian tidak menerima kami ! Kami akan kembali
ke tanah air kami, dan jika saatnya tiba, kami baru
akan kembali membawa idiologi baru yang
menjanjikan ketentraman kepada kalian.”
Mereka diam. Tidak tahu harus berbuat apa.
Berhari-hari ke depan harus mencari
pemimpinnya yang hilang. Raja mereka yang
dihilangkan atau menghilang dengan sendirinya.
Padahal Syekh Subakir, Ki Sentana, dan Patih
Bungsu mengetahui pemimpin mereka. Pemimpin
mereka yang sedang bertapa di Gua Terusan. Gua
dua alam yang disembunyikan oleh Yang Kuasa di
tengah hutan wilayah Jawa Tengah. Ketika Kanjeng
Syekh menanam tumbal, beliau melihat ada sinar
keputih-putihan memancar dari salah satu hutan.
Pemimpin itu masih asyik bergurau dengan
bisikan hatinya, dan dewa yang diyakininya. Dia
tidak akan bangun jika tidak dibangunkan, dan
tidak akan memimpin pulau Jawa jika belum ada
amanah yang membangunkannya.
Dia adalah Raja Sindula. Pemegang tumpuk
pimpinan wilayah Jawa. Dia sudah Nyiluman di
gua Terusan sebelum seluruh penduduk Jawa
nyiluman. Dia satu-satunya keturunan darah Biru
yang memegang tumpuk kepemimpinan di pulau
Jawa. Syekh Subakir, Ki Sentana dan Patih Bungsu
tidak bisa menjadi pemimpin di pulau itu karena
tidak memiliki mandat Kejawen yang diyakini oleh
sebagian besar penduduk Jawa.
Ketiganya harus pulang ke Rum. Misi sudah
selesai. Raja mereka akan bangun dari
pertapaannya, dan memimpin rakyat Jawa ke masa
kemakmuran. Dan belum waktunya Syekh Subakir
membelokkan idiologi Kejawen yang sudah
merasuk ke tulang sumsum masyarakat Jawa. Jika
masyarakat Jawa sudah dibekali ilmu dan idiologi
yang benar, maka Syekh Subakir akan membuka
lembaran baru di tanah Jawa. Syekh Subakir dan
kawan-kawan akan kembali ke Jawa mengenalkan
sikap hidup yang islami agar masyarakat tidak lagi
menyembah pohon besar, gua gelap, atau hutan
angker serta kuburan-kuburan nenek moyang
mereka. Sedikit demi sedikit jimat yang ditanam
kanjeng Syekh akan merubah jiwa mereka ke arah
kesadaran yang benar daripada keyakinannya
terhadap pohon besar atau kuburan kuno lainnya.
Syekh Subakir, Ki Sentana, dan Patih Bungsu
mempersiapkan kapal dan pulang ke negeri Rum.
Sementara para Cantrik sebagian menjadi orang
Jawa, demikian juga 10 jodoh manusia dan
Unggas-Unggas tetap di pulau Jawa. Mereka
menjaga amanah “ndonga” berupa jimat di
seluruh gunung-gunung pulau Jawa. Jika jimat-
jimat itu tidak berwibawa lagi, maka mahluk-
mahluk halus kembali menguasai mereka, dan
mempermainkan penduduk Jawa serta
mempolanya menjadi siluman lagi. (ide cerita
atau pakem dari Kitab Manikmoyo II)
Tema PT Keren Sekali. Diberdayakan oleh Blogger.